Artikel ini akan membahas banyak hal tentang demand variability, mulai dari pengertian, penyebab, sampai bagaimana cara menghadapinya.
Bahasan ini akan sangat menarik dan penting bagi Anda sebagai pelaku bisnis dan praktisi supply chain. Terlebih dalam situasi pandemi seperti sekarang ini.
COVID-19 yang terjadi sejak beberapa tahun lalu benar-benar mengejutkan dunia.
Pandemi punya dampak mendalam dan mengganggu ekonomi dunia. Wabah ini menjerumuskan supply chain global ke lubang yang ngga diperhitungkan sama sekali.
Pandemi ini merupakan peristiwa ngga terduga yang punya konsekuensi berpotensi serius.
Atribut unik dari krisis ini, yang membedakannya dari yang lain dalam beberapa tahun terakhir, bagaimanapun adalah efek universal pada permintaan dan penawaran.
Bisnis dan konsumen sama-sama mengubah aktivitas dan pengeluaran mereka, memicu perubahan liar dalam permintaan.
Produk perawatan kesehatan dan konsumen rutin, keduanya mengalami lonjakan permintaan yang tajam dan tak terduga saat konsumen beralih ke mode panic buying, karena lockdown regional dan ketakutan akan kekurangan supply.
Sebaliknya, banyak konsumen barang tahan lama dan penyedia peralatan industri mengalami penurunan tajam terkait permintaan, terutama karena perlambatan transportasi global, dan kekurangan tenaga kerja karena masalah kesehatan.
Kalau bisnis ngga mengelolanya dengan baik, variasi ini bisa berarti peningkatan biaya, penurunan pendapatan, peningkatan risiko, dan penurunan margin keuntungan.
Permintaan dan penjualan customer akan berfluktuasi, terlepas dari seberapa baik bisnis bisa mengiklankan produknya.
Tapi, dengan mengantisipasi perubahan, perusahaan bisa menyiapkan supply chain mereka untuk menghindari dampak negatifnya.
Salah satunya adalah dengan software untuk forecasting. Organisasi bisa menghitung demand variability mereka dan menyiapkan operasi internal untuk bisa beradaptasi dengan tren pasar yang muncul.
Demand variability ini akan erat kaitannya dengan inventory. Dan siapa pun yang melakukan pekerjaan itu, tahu kalau mengelola inventory bisa membuat stres.
Stresor yang umum meliputi: customer dengan permintaan “khusus”, departemen TI yang punya prioritas lain, sistem ERP yang berjalan di atas data yang ngga akurat, kekurangan bahan baku, supplier dengan lead time yang lama di negara-negara yang jauh, di mana produksi sering berhenti karena berbagai alasan dan banyak lagi.
Dan semua catatan tersebut membahas satu sumber stres tertentu dan selalu ada, yaitu demand variability.
Lalu bisnis harus berbuat apa?
Itulah yang akan kita bahas kali ini.
Tapi, sebelum kita bahas lebih jauh, pastikan Anda juga sudah tergabung dengan scmguide telegram channel supaya Anda ngga ketinggalan update artikel-artikel menarik dan bermanfaat lainnya dari blog ini.
Table of Contents
Apa itu demand variability?
Demand variability adalah ukuran seberapa banyak variabilitas yang ada dalam permintaan customer.
Ini adalah perbedaan antara apa yang bisnis harapkan untuk terjadi dan apa yang sebenarnya terjadi.
Ada beberapa faktor yang mendorong demand variability, seperti:
- Kompleksitas permintaan secara umum
- Variasi permintaan di seluruh perusahaan global
- Kurangnya visibilitas di dalam dan di seluruh supply chain
- Pendekatan forecasting variabel di tingkat pabrik dan customer
- Lead time variabel di tingkat pabrik dan customer
- Meningkatkan keterlibatan lebih banyak supplier dan subkontrak
- Meningkatkan keterlibatan supplier yang lebih kecil
Faktor-faktor ini menjadikan demand variability sebagai salah satu tantangan terbesar yang harus perusahaan hadapi di seluruh supply chain.
Bila bisnis ngga menanganinya secara memadai, demand variability bisa menciptakan gangguan supply chain yang signifikan.
Misalnya, kalau perusahaan mengharapkan lonjakan permintaan customer, mereka bisa meningkatkan pesanan inventory mereka untuk memaksimalkan potensi penjualan.
Tapi, kalau ternyata permintaan customer yang sebenarnya ngga sesuai dengan prediksi, distributor, gudang, dan pengecer akan punya terlalu banyak stok.
Ini ngga cuma meningkatkan biaya penyimpanan, tapi juga mengekspos ancaman menciptakan stok mati.
Di sisi lain, kalau bisnis mengalami peningkatan permintaan customer yang ngga terduga, mereka harus berebut mencari supplier yang bisa memenuhi pesanan.
Kalau permintaan ini mencakup seluruh pasar, produsen mungkin sudah mencapai kapasitas, tapi masih juga belum bisa memenuhi pesanan pada waktu yang tepat.
Ini menciptakan hambatan lebih jauh dalam supply chain, menghentikan operasi berurutan dan memperpanjang lead time.
Anda juga pasti suka:
Demand variability dan efek bullwhip
Untuk mengatasi faktor-faktor ini dan memenuhi tantangan demand variability, produsen perlu mengidentifikasi dan mengadopsi strategi dan alat baru untuk forecasting dan respons permintaan.
Seperti yang para praktisi supply chain tahu, demand variability pada tingkat barang jadi, mengarah ke efek “Bullwhip” yang umum kita kenal di hulu.
Efek ini meningkat berdasarkan jumlah eselon antara customer akhir dan basis pasokan.
Misalnya, kalau Original Equipment Manufacturers (OEM) terhubung langsung ke supplier Tier 1, efeknya minimal.
Tapi, kalau customer akhir melewati saluran distribusi yang mengandalkan perusahaan manufaktur, yang kemudian bergantung pada produsen kontrak dan supplier, efek bullwhip ini bisa menjadi sangat buruk.
Apa artinya ketika ada pergeseran kurva permintaan?
Pergeseran kurva permintaan adalah ketika determinan permintaan, selain harga, berubah.
Itu terjadi ketika permintaan barang dan jasa berubah meskipun harganya ngga.
Untuk memahami ini, Anda harus terlebih dahulu memahami apa yang kurva permintaan lakukan.
Ini memplot jadwal permintaan yang merupakan bagan yang merinci dengan tepat berapa banyak unit yang akan perusahaan beli pada setiap harga.
Hukum permintaan yang mengatakan orang akan membeli lebih sedikit unit saat harga naik, memandu hal ini.
Selama ngga ada lagi yang berubah, prinsip ekonomi yang kita kenal dengan ceteris paribus. Itu berarti semua penentu permintaan, selain harga, harus tetap sama.
Pergeseran kurva permintaan adalah keadaan yang ngga biasa ketika sebaliknya terjadi.
Harga tetap sama tapi setidaknya salah satu dari lima penentu lainnya berubah. Penentu tersebut adalah:
- Pendapatan pembeli.
- Tren dan selera konsumen.
- Ekspektasi harga masa depan, penawaran, kebutuhan, dll.
- Harga barang terkait. Ini bisa menjadi pengganti, seperti daging sapi versus ayam. Mereka juga bisa menjadi pelengkap, seperti daging sapi dan saus.
- Jumlah pembeli potensial. Determinan ini cuma berlaku untuk permintaan agregat.
Faktor-faktor yang menyebabkan kurva permintaan bergeser
Ketika kurva permintaan bergeser, itu mengubah jumlah yang perusahaan beli pada setiap titik harga.
Misalnya, ketika pendapatan meningkat, orang bisa membeli lebih banyak semua yang mereka inginkan. Dalam jangka pendek, harga akan tetap sama dan jumlah yang perusahaan jual akan meningkat.
Efek yang sama terjadi kalau tren atau selera konsumen berubah. Kalau orang beralih ke kendaraan listrik, mereka akan membeli lebih sedikit bensin meskipun harga bensin tetap sama.
Kurva bergeser ke kiri kalau determinan menyebabkan permintaan turun. Itu berarti lebih sedikit barang atau jasa yang customer minta pada setiap harga. Dan itu terjadi selama resesi, ketika pendapatan pembeli turun. Mereka akan membeli lebih sedikit segala sesuatu, meskipun harganya sama.
Kurva bergeser ke kanan kalau determinan menyebabkan permintaan meningkat. Ini berarti lebih banyak barang atau jasa yang customer minta pada setiap harga. Ketika ekonomi sedang booming, pendapatan pembeli akan meningkat. Mereka akan membeli lebih banyak segalanya, meskipun harganya ngga berubah.
Ayo kita lihat contoh bagaimana lima faktor penentu permintaan, selain harga, bisa menggeser kurva permintaan.
- Pendapatan pembeli: Kalau Anda mendapat kenaikan gaji, kemungkinan besar Anda akan membeli lebih banyak steak dan ayam, meskipun harganya ngga berubah. Itu menggeser kurva permintaan ke kanan.
- Tren konsumen: Selama ketakutan penyakit sapi gila, konsumen lebih memilih ayam daripada daging sapi. Meskipun harga daging sapi ngga berubah, kuantitas yang customer minta lebih rendah pada setiap harga. Itu menggeser kurva permintaan ke kiri.
- Ekspektasi harga di masa depan: Ketika orang memperkirakan harga naik di masa depan, mereka akan menimbun sekarang, meskipun harganya bahkan ngga berubah. Itu menggeser kurva permintaan ke kanan.
- Harga barang terkait: Kalau harga daging sapi naik, Anda akan membeli lebih banyak ayam meskipun harganya ngga berubah. Kenaikan harga daging pengganti, daging sapi, menggeser kurva permintaan ke kanan untuk ayam. Hal sebaliknya terjadi dengan permintaan saus sebagai produk pelengkap. Kurva permintaannya akan bergeser ke kiri. Anda cenderung ngga membelinya, meskipun harganya ngga berubah, karena Anda punya lebih sedikit daging sapi untuk Anda konsumsi.
- Jumlah pembeli potensial: Faktor ini cuma mempengaruhi permintaan agregat. Ketika ada banjir konsumen baru di pasar, mereka secara alami akan membeli lebih banyak produk dengan harga yang sama. Itu menggeser kurva permintaan ke kanan.
Anda juga pasti suka:
- Sales and Operation Planning: Dari Data ke Informasi, dari Informasi ke Pengambilan Keputusan
- Apa itu Supply Chain Sustainability dan Mengapa Penting untuk Bisnis Anda?
Setiap orang punya masalah forecasting
Misalkan Anda mengelola armada suku cadang yang besar. Mungkin peralatan bedah untuk rumah sakit Anda, atau suku cadang perbaikan untuk pembangkit listrik Anda.
Misi Anda adalah memaksimalkan waktu.
Musuh Anda adalah down time.
Tapi karena kerusakan terjadi secara acak, Anda terus-menerus bekerja dalam mode reaktif.
Anda mungkin berharap teknologi forecasting bisa menyelamatkan Anda. Tapi, setiap forecast pasti ngga sempurna sampai tingkat tertentu: unsur kejutan selalu ada.
Anda mungkin menunggu penerapan teknologi Internet of Things (IOT) pada peralatan Anda untuk memantau dan mendeteksi kegagalan yang akan datang, membantu Anda menjadwalkan perbaikan jauh sebelumnya.
Tapi Anda tahu, kalau Anda ngga bisa mengukur ribuan hal kecil yang bisa gagal dan menonaktifkan hal besar.
Jadi, Anda memutuskan untuk menggabungkan forecast dengan manajemen inventory, dan membangun buffer atau safety stock untuk melindungi Anda dari lonjakan permintaan yang mengejutkan.
Sekarang, Anda harus mencari tahu berapa banyak safety stock yang harus Anda siapkan, mengetahui kalau terlalu sedikit berarti kerentanan, dan terlalu banyak berarti berlebihan.
Misalkan Anda menangani inventory barang jadi untuk perusahaan make-to-stock.
Masalah Anda pada dasarnya sama seperti dalam mengelola suku cadang layanan: Anda punya customer eksternal dan permintaan yang ngga pasti.
Tapi, Anda mungkin juga punya masalah tambahan dalam hal menyinkronkan beberapa supplier komponen yang Anda rakit menjadi barang jadi.
Supplier ingin Anda memberi tahu mereka berapa banyak barang yang harus mereka buat sehingga Anda bisa membuat barang-barang Anda. Masalahnya, Anda ngga tahu berapa banyak barang Anda sendiri yang perlu Anda buat.
Terakhir, misalkan Anda menangani barang jadi di perusahaan build-to-order.
Anda mungkin berpikir kalau Anda ngga lagi punya masalah forecast, karena Anda ngga membangun sampai Anda menerima bayaran untuk membangun.
Tapi, Anda sebenarnya tetap punya masalah forecasting. Karena barang jadi Anda mungkin Anda rakit dari campuran komponen dan sub-rakitan. Jadi, Anda tetap harus menerjemahkan beberapa forecast permintaan barang jadi untuk menyusun forecast komponen tersebut.
Kalau ngga, Anda akan pergi untuk membuat barang jadi Anda dan menemukan kalau Anda ngga punya komponen yang Anda perlukan. Anda harus menunggu sampai Anda bisa kembali merakit semua yang Anda butuhkan. Dan customer Anda mungkin ngga mau menunggu. Pastinya begitu kan?
Jadi, setiap orang punya masalah forecasting.
Apa yang membuat forecasting sulit
Forecasting bisa cepat, gampang, dan akurat, selama dunia berjalan sederhana.
Kalau permintaan untuk produk Anda adalah 10 unit setiap minggu, bulan demi bulan, Anda bisa membuat perkiraan yang sangat akurat.
Tapi hidup ngga sepenuhnya seperti itu kan?
Kalau Anda beruntung dan hidup hampir seperti itu, misalnya permintaan mingguan lebih seperti {10, 9, 10, 8, 12, 10, 10…}, Anda masih bisa membuat perkiraan yang sangat akurat dan cuma perlu melakukan sedikit penyesuaian nantinya.
Tapi, hidup seringnya mungkin seperti permintaan mingguan yang terlihat ini: {0, 0, 7, 0, 0, 0, 23, 0 …}, dan itu membuat forecasting permintaan memang sulit.
Perbedaan utama adalah demand variability. Zig zag sana sini.
Safety stock mengambil alih saat forecasting ditinggalkan
Metode forecasting statistik merupakan bagian penting dari solusi.
Metode ini membantu Anda memeras keuntungan sebanyak mungkin dari pola historis permintaan yang perusahaan Anda catat untuk setiap item.
Tugas forecasting adalah untuk menggambarkan apa yang khas, yang menyediakan dasar untuk mengatasi keacakan permintaan.
Teknik forecasting statistik bekerja dengan menemukan fitur “gambaran besar” dalam catatan permintaan, seperti tren dan musim, lalu memproyeksikannya ke masa depan.
Mereka semua secara implisit berasumsi kalau pola apa pun yang ada sekarang akan bertahan. Jadi, pertumbuhan 5% akan terus berlanjut, dan permintaan Juli akan selalu 20% lebih tinggi dari permintaan Februari, misalnya.
Untuk sampai ke titik itu, metode forecasting statistik menggunakan beberapa bentuk rata-rata untuk meredam “kebisingan” dalam riwayat permintaan.
Tapi, kemudian pekerjaan lainnya jatuh pada manajemen inventory, karena komponen permintaan masa depan yang ngga biasa dan acak, masih akan merepotkan di masa depan.
Tingkat ketidakpastian yang tak terhindarkan ini harus perusahaan tangani oleh “peredam kejut” yang kita sebut safety stock.
Metode yang sama yang menghasilkan forecast tren, dan/atau musim, bisa Anda gunakan untuk memperkirakan jumlah kesalahan forecast.
Ini harus Anda lakukan dengan hati-hati menggunakan metode yang kita sebut “holdout analysis”.
Apa lagi itu?
Bekerjanya seperti ini. Misalkan Anda punya 365 pengamatan permintaan harian untuk Item X, yang punya lead time pengisian 10 hari.
Anda ingin tahu berapa banyak unit yang akan customer minta selama periode 10 hari mendatang.
Anda bisa memasukkan 305 hari pertama dari riwayat permintaan ke dalam teknik forecasting, dan mendapatkan forecast untuk 10 hari berikutnya, yaitu hari 306-315.
Jawabannya memberi Anda satu forecast dari total permintaan selama 10 hari tersebut.
Yang penting, ini juga memberi Anda satu forecast variabilitas di sekitar forecast itu, yaitu kesalahan perkiraan, perbedaan antara apa yang sebenarnya terjadi pada hari 306-315 dan apa yang Anda perkirakan.
Sekarang Anda bisa mengulangi prosesnya, kali ini menggunakan 306 hari pertama untuk meramalkan 10 berikutnya, 307 hari pertama untuk meramalkan 10 berikutnya, dll.
Anda mendapatkan 52 forecast tentang variabilitas total permintaan selama 10 hari lead time.
Misalkan 95% dari perkiraan tersebut kurang dari 28 unit. Kemudian 28 unit akan menjadi safety stock yang cukup aman untuk Anda tambahkan ke forecast, karena Anda akan mengalami kekurangan cuma 5% dari waktu.
Software statistik modern melakukan perhitungan ini secara otomatis. Ini bisa meringankan setidaknya salah satu sakit kepala kronis manajemen inventory dengan membantu Anda mengatasi demand variability.
Anda juga pasti suka:
- Backorder: Definisi dan Bagaimana Cara Mengelolanya
- 10 Tips Penting Cara Inventory Management yang Efektif
Mengapa penempatan inventory penting?
Salah satu cara untuk meminimalkan cambuk-cambuk multi-eselon adalah dengan menilai dan menempatkan inventory di tempat yang tepat.
Alih-alih berurusan dengan customer akhir dengan supplier hulu, ikuti aliran material.
Kalau Anda melayani customer dari inventory, identifikasi titik pengisian terdekat.
Pahami kecepatan inventory, penggunaan, lead time, dan koefisien variasi untuk menentukan inventory optimal untuk putaran tersebut.
Lakukan perhitungan serupa untuk masing-masing eselon. Apa yang Anda lakukan adalah mengubah variabilitas multi-tingkat menjadi satu tingkat pada satu waktu.
Apa itu smoothing demand?
Ketika kapasitas produksi perusahaan terlalu “tegang”, ia mencoba untuk mengurangi permintaan produknya dengan tindakan, seperti menarik iklan, misalnya.
Sesudah kapasitas produksi kembali normal atau kurang perusahaan manfaatkan, perusahaan akan menstimuli permintaan lagi.
Cara memanipulasi permintaan sesuai dengan kapasitas untuk memenuhinya, kita sebut perataan permintaan (demand smoothing).
Ada dua cara untuk meratakan permintaan: manajemen kapasitas dan manajemen permintaan.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan permintaan selama periode pergerakan yang lambat, dan untuk meredam permintaan selama musim puncak.
Dalam periode yang lambat, permintaan bisa Anda tingkatkan dengan menggunakan diskon dan penawaran lainnya.
Permintaan yang lebih lancar mengurangi kebutuhan akan penyesuaian kapasitas yang mahal.
Seringkali, manajemen permintaan adalah pilihan yang lebih murah daripada manajemen kapasitas.
Itu juga bisa Anda kelola dengan secara aktif menjadwalkan kedatangan customer menggunakan reservasi terlebih dahulu.
Ada tiga cara manajemen permintaan: kecocokan, kontrol, dan pengaruh.
Tantangan demand variability
Demand variability “terdaftar” secara konsisten sebagai salah satu tantangan utama yang mempengaruhi supply chain management yang efektif di semua tingkat kematangan.
Volatilitas, ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas, adalah empat penyebab utama demand variability.
Bagi banyak pemimpin supply chain, ini menghadirkan tantangan besar dan berpotensi mahal dalam menghadapi “bullwhip effect” yang saya sebutkan sebelumnya.
Ketika perubahan besar dalam inventory terjadi dari panic buying, dampak dari permintaan yang tiba-tiba ini semakin besar saat bergerak ke hulu dalam supply chain.
Rak-rak toko yang kosong memicu pembelian yang lebih panik, pengecer kehilangan potensi penjualan, distributor berebut untuk menentukan siapa yang harus mendapatkan produk tertentu, dan lonjakan permintaan yang tiba-tiba dan ngga terduga ini membanjiri produsen.
Jadi, ketika pasar memberi sinyal peningkatan tajam dalam permintaan, terutama pada saat krisis global, profitabilitas pemimpin supply chain bergantung pada informasi dan cukup gesit untuk memperkirakan dan memenuhi inventory di tempat yang tepat, pada kecepatan yang tepat, dan pada waktu yang tepat.
Sayangnya, dengan sesuatu seperti COVID-19, bahkan rencana kontinjensi yang paling baik pun mungkin terbukti ngga memadai.
Manajemen demand variability harus fleksibel untuk bisa beradaptasi dengan fluktuasi yang tiba-tiba.
Bisnis juga harus secara proaktif mencoba meminimalkan demand variability mereka.
Bagaimana caranya?
Ayo kita lihat bagian penting ini.
6 cara efektif menghadapi demand variability
Ada setidaknya enam tindakan jangka pendek untuk meningkatkan rencana manajemen demand variability Anda di masa ketidakpastian ini.
Pertahankan hubungan yang transparan dan proaktif dengan supplier
Supplier utama perusahaan harus punya visibilitas penuh terhadap permintaan yang Anda proyeksikan. Jadi, mereka bisa mempersiapkan operasi internal mereka sesuai dengan itu.
Dengan menetapkan transparansi penuh, supplier bisa menyiapkan safety stock, merencanakan logistik sebelumnya, dan meningkatkan respons mereka terhadap permintaan customer.
Ini membuatnya lebih gampang untuk mempertahankan alur kerja yang lancar.
Pastikan supplier utama Anda punya visibilitas penuh dalam proyeksi permintaan Anda. Sebaiknya real time, untuk mengamankan inventory guna membangun safety stock.
Punya visibilitas yang baik dari permintaan dan penawaran, memungkinkan organisasi untuk mengelola sinyal permintaan dengan lebih akurat, menanggapi permintaan customer lebih cepat, dan menghaluskan efek demand variability.
Aktifkan sumber supply alternatif
Bisnis lebih siap untuk menangani masuknya permintaan customer yang ngga terduga ketika mereka punya banyak supplier yang siaga.
Dengan cuma memanfaatkan satu supplier utama, perusahaan mungkin ngga bisa mengamankan inventory penting atau mencapai kapasitas.
Oleh karena itu, organisasi harus mengeksplorasi opsi supplier mereka.
Kalau Anda punya multi-source kunci, bergeraklah cepat untuk mengaktifkan hubungan supplier sekunder dan mengamankan inventory serta kapasitas penting tambahan.
Jelajahi peluang potensial untuk membangun kumpulan sumber daya bersama untuk inventory bahan baku.
Anda juga pasti suka:
- 6 Supply Chain Trade-off yang Harus Anda Hadapi
- Bagaimana Cara Menghitung Days Sales of Inventory (DSI)
Mengurangi lead time
Lead time yang Anda perpanjang, bisa mengakibatkan customer frustrasi dan Anda kehilangan penjualan.
Karena itu, perusahaan harus mengurangi lead time mereka. Jadi, mereka bisa merespon dengan cepat terhadap perubahan permintaan.
Lead time yang lama meningkatkan kemungkinan terjadinya bullwhip effect. Temukan cara untuk mengurangi lead time dari sumber supply.
Ini juga memungkinkan Anda untuk bereaksi dengan cepat terhadap perubahan permintaan.
Perbarui kebijakan dan perencanaan inventory
Tiga penyangga demand variability meliputi inventory, waktu, dan kapasitas.
Dengan memperbarui kebijakan inventory secara teratur, bisnis bisa mengoptimalkan buffer ini untuk meminimalkan konsekuensi negatif dari demand variability.
Meskipun peninjauan tepat waktu dan penyesuaian proaktif dari tiga penyangga – inventory, waktu, dan kapasitas – memastikan penanganan demand variability yang lebih baik, sebagian besar perusahaan ngga akan punya buffer inventory untuk besarnya gangguan yang pandemi COVID-19 sebabkan.
Karena itu, pertimbangkan bagaimana Anda akan menyempurnakan strategi inventory Anda untuk mengurangi risiko potensi kekurangan supply.
Menyelaraskan manajemen penawaran dan permintaan
Dengan menyeimbangkan manajemen penawaran dan permintaan, perusahaan bisa dengan cepat menyesuaikan fungsi mereka dengan lingkungan saat ini, terlepas dari apakah permintaan melonjak atau turun.
Untuk menemukan keseimbangan ini, bisnis perlu menilai seluruh supply chain mereka, mulai dari procurement bahan baku sampai distribusi akhir.
Menyeimbangkan dan menyelaraskan manajemen permintaan dengan supply management, memungkinkan kedua fungsi untuk dengan cepat menyesuaikan diri dengan kenyataan baru, apakah itu lonjakan permintaan yang tiba-tiba atau gangguan supply yang ngga terduga.
Mengimplementasikan demand forecasting software
Forecasting software menggunakan pembelajaran mesin untuk menilai data penjualan historis dan saat ini untuk menentukan tren permintaan customer.
Mengintegrasikan forecasting software dengan sistem point-of-sale (POS) memungkinkannya memperbarui algoritme dengan setiap transaksi untuk terus meningkatkan akurasi.
Dengan forecast yang akurat, perusahaan bisa mengantisipasi lonjakan permintaan beberapa bulan sebelumnya, membangun keunggulan kompetitif yang signifikan atas bisnis yang ngga bisa mendeteksi tren yang muncul.
Risiko supply chain
Mengidentifikasi ancaman supply chain memungkinkan bisnis meminimalkan gangguan yang bisa menyebabkan hilangnya penjualan.
Secara umum, ada dua jenis risiko supply chain.
Risiko supply chain internal
Risiko supply chain internal lebih gampang Anda mitigasi karena berada dalam kendali perusahaan.
Lima subkategori risiko supply chain internal meliputi:
- Risiko manufaktur karena gangguan dalam proses internal.
- Risiko bisnis berasal dari perubahan dalam personel, manajemen, komunikasi, dan dokumentasi.
- Perencanaan dan pengendalian risiko karena evaluasi dan perencanaan yang buruk, jadi pengelolaannya ngga memadai.
- Risiko mitigasi dan kontinjensi berasal dari ngga tersedianya solusi alternatif kalau terjadi keadaan darurat, seperti supplier cadangan, misalnya.
- Risiko budaya karena kelalaian atau ketidakmampuan perusahaan untuk menyampaikan informasi negatif kepada pemangku kepentingan. Jenis bisnis ini biasanya ngga bisa merespons dengan cepat perubahan permintaan yang tiba-tiba.
Risiko supply chain eksternal
Risiko supply chain eksternal lebih sulit Anda cegah karena berada di tempat lain dalam supply chain.
Lima subkategori risiko supply chain eksternal seperti berikut ini.
- Risiko permintaan karena perubahan permintaan customer yang ngga terduga atau perusahaan salahartikan.
- Risiko supply karena gangguan dalam jaringan pasokan, seperti pengadaanbahan baku, misalnya.
- Risiko lingkungan berasal dari faktor-faktor yang sepenuhnya berada di luar supply chain, seperti cuaca, perubahan ekonomi, peraturan pemerintah, dan iklim sosial.
- Risiko bisnis karena kondisi keuangan organisasi dalam jaringan supply chain, termasuk perubahan kepemilikan supplier utama atau stabilitas manajemen distributor.
- Risiko pabrik fisik berasal dari pemeliharaan fasilitas supplier dan kepatuhan terhadap peraturan.
Meskipun ngga mungkin untuk mengantisipasi dan meredakan semua ancaman, mempelajari berbagai jenis risiko supply chain memungkinkan bisnis untuk mengoptimalkan manajemen mereka dan meningkatkan daya tanggap mereka.
Kesimpulan
Peristiwa makro, seperti krisis virus corona, yang memicu volatilitas permintaan, memengaruhi setiap mata rantai dalam supply chain global – mulai dari pengadaan bahan mentah, pengaturan tingkat safety stock, sampai perencanaan logistik.
Reaksi spontan bagi banyak perusahaan pada saat terjadi gangguan supply chain adalah dengan menggunakan respons “memadamkan api” untuk memenuhi tingkat layanan.
Tapi, bersiap untuk segalanya berarti Anda bisa secara efektif merespons peristiwa penting untuk menghilangkan aktivitas reaksioner yang mahal pada saat gangguan terjadi.
Karena itu, penting untuk Anda memastikan kalau semua bagian dari “puzzle” supply chain Anda pas.
Bagaimana cara Anda mengelola demand variability? Saya akan sangat dengan senang hati mengetahuinya lewat komentar Anda.
“Bagikan artikel ini pada tim atau rekan Anda supaya mereka juga bisa mendapatkan manfaatnya. Pastikan juga Anda bergabung dengan scmguide telegram channel untuk mendapatkan artikel-artikel penting seputar supply chain management lainnya karena bakal banyak lagi yang akan saya bagikan di channel tersebut. Semoga bermanfaat!”