Semua berawal dari sebuah email internal yang bocor ke luar. Seorang presiden direktur dari sebuah perusahaan ternama mengundurkan diri secara tiba-tiba. Tapi ini bukan pengunduran diri biasa. Bukan karena “mau fokus ke keluarga” atau “mengejar peluang baru.” Tidak. Yang satu ini datang dengan gemuruh. Ia mengakui kalau selama ini ia memanipulasi data KPI. Target-target yang seolah-olah tercapai, padahal banyak yang tidak.
Alasannya? Satu: bos-bos di atasnya tidak pernah bisa menerima KPI merah. Tidak peduli kenyataan di lapangan seperti apa, yang boleh muncul cuma angka hijau. Dan ketika angka tidak hijau, ia selalu disalahkan. Tidak dibantu. Tidak didukung. Cuma dihakimi.
Sampai akhirnya, ia menyerah.
Ini bukan cuma tentang kesalahan moral satu orang. Ini adalah cermin dari kerusakan budaya dalam sistem yang lebih besar.
Sebelum kita lanjutkan bahasan menarik ini, jangan lupa untuk follow juga akun LinkedIn saya. Anda akan mendapatkan lebih banyak insight bermanfaat tentang supply chain management di sana. Dapatkan juga ebook dari scmguide.com di sini untuk semakin menambah wawasan supply chain management Anda.
Table of Contents
Kita Terlalu Terobsesi dengan Warna Hijau
Di dunia bisnis saat ini, dashboard performa sudah jadi seperti kitab suci. Laporan penuh angka, warna, dan grafik seolah jadi penentu hidup-mati. Hijau artinya aman. Merah artinya gagal. Begitu sederhananya kita melihat performa, sampai-sampai lupa apa arti sebenarnya dari warna-warna itu.
Hijau jadi simbol kehebatan. Merah? Jadi simbol kegagalan pribadi. Malu. Aib. Maka tak heran, banyak orang mati-matian mempertahankan tampilan hijau itu—walau kenyataannya jauh berbeda. Ada yang mengutak-atik angka. Ada yang sengaja turunkan target di tengah jalan. Ada yang diam saja walau tahu sudah melenceng jauh.
Padahal, KPI itu bukan penghargaan. Bukan medali emas. KPI adalah alarm. Penanda. Indikator. Kalau warnanya merah, artinya ada yang perlu diperhatikan. Ada yang melenceng. Ada peluang untuk diperbaiki. Tapi ketika budaya organisasi tidak bisa menerima merah, yang kita katakan secara tidak langsung adalah: “Jangan kasih tahu saya kenyataan kalau kenyataan itu tidak enak didengar.”
Itu bukan cara membangun performa. Itu cara menciptakan ilusi.
Beratnya Menyembunyikan Kenyataan
Coba bayangkan: Anda bangun pagi, masuk kerja, dan tahu kalau laporan yang Anda kirim tidak sesuai realita. Anda tahu tim Anda sedang kesulitan. Operasi sedang bermasalah. Target banyak yang meleset. Tapi Anda tetap harus tersenyum dan mengirim laporan penuh warna hijau.
Bayangkan tidak punya ruang aman untuk berkata, “Kita meleset,” atau “Kami butuh bantuan.” Lama-lama, tekanan seperti ini tidak cuma melahirkan kebohongan, tapi juga keputusasaan.
Presdir yang mengundurkan diri itu? Dia bukan penjahat. Dia seorang profesional yang terjebak dalam sistem yang tidak memberi ruang untuk jujur. Berkali-kali disalahkan saat melapor kegagalan. Tidak pernah ditanya apa penyebabnya. Tidak pernah dibantu. Cuma diminta satu hal: jangan kasih laporan merah.
Akhirnya dia menyerah. Dan memilih berhenti.
Mudah untuk menghakimi dia. Tapi jauh lebih penting untuk bertanya: sistem seperti apa yang membuat kebohongan terasa seperti satu-satunya jalan selamat?
Anda juga pasti suka:
- Menguasai Tata Letak Gudang untuk Alur Kerja yang Lancar dan Efisiensi Maksimal
- Bagaimana Menghindari Kerugian Biaya Pengiriman Ketika PO Customer Berjumlah Sedikit
KPI Merah Itu Bukan Musuh
Mari kita akui satu hal: dalam bisnis, masalah pasti terjadi. Pasar berubah. Supplier gagal. Permintaan meleset. Mesin rusak. Orang salah ambil keputusan. Mau sehebat apa pun rencana kita, kenyataan selalu punya caranya sendiri.
KPI merah adalah cerminan dari hal itu. Ia bukan musuh. Ia justru teman yang berkata, “Lihat ini. Ada sesuatu yang perlu diperbaiki.” Ia adalah sinyal. Dan dalam budaya organisasi yang sehat, warna merah bukan pertanda bahaya, tapi tanda kalau saatnya duduk bersama dan berpikir.
Bayangkan sebuah budaya di mana ketika seseorang menunjukkan KPI merah, reaksi pertama bukan marah atau curiga, tapi bertanya: “Kenapa bisa begini? Apa akar masalahnya? Apa yang bisa kita pelajari? Bisa saya bantu?” Inilah cara KPI menjadi alat hidup yang mendorong perbaikan, bukan alat penghukuman yang membunuh semangat.
Tapi budaya seperti ini tidak muncul tiba-tiba. Harus diciptakan. Dan dimulai dari atas.
Tugas Pemimpin yang Sebenarnya
Kalau Anda seorang pemimpin, cobalah bertanya jujur: kapan terakhir kali ada orang yang datang ke Anda dan berkata, “KPI saya merah,” tanpa terlihat takut?
Kalau sudah lama tidak terjadi, itu pertanda buruk.
Tujuan kita bukan punya semua KPI hijau. Tujuan kita adalah tahu kapan sesuatu melenceng—dan memperbaikinya. Kalau orang-orang menyembunyikan masalah demi terlihat bagus, itu artinya kita sedang mengambil keputusan berdasarkan ilusi.
Tugas pemimpin adalah menciptakan ruang aman. Ruang di mana kejujuran tidak dihukum. Di mana anak buah bisa berkata, “Target delivery kami meleset 15%,” dan Anda menjawab, “Terima kasih sudah jujur. Ayo kita cari tahu kenapa.”
Kalau saja presdir di cerita tadi pernah mendengar jawaban seperti itu—sekali saja—mungkin ia tidak perlu mengundurkan diri. Tapi dia tidak pernah mendengarnya. Yang ia bisa cuma tekanan dan penghakiman.
Dan ini bukan cuma tentang dia. Ini bisa terjadi pada siapa pun dari kita.

Kita Semua Pembentuk Budaya
Budaya bukan soal nilai-nilai yang tertulis di dinding kantor. Budaya adalah hal-hal kecil yang kita lakukan setiap hari. Cara kita bereaksi saat orang membawa berita buruk. Cara kita memberi respons saat target tidak tercapai. Cara kita memilih antara mendukung atau menghakimi.
Apakah kita mencibir saat seseorang menyampaikan risiko? Apakah kita cuma memuji yang “selalu achieve” tanpa peduli prosesnya? Apakah kita diam saja saat tahu ada yang memanipulasi angka?
Hal-hal kecil seperti ini membentuk suasana emosional dalam organisasi. Dan lama-lama menentukan: apakah kebenaran akan bertahan… atau perlahan-lahan mati.
Kebenaran tidak mati seketika. Ia mati perlahan. Lewat risiko yang diabaikan. Lewat laporan yang dipoles. Lewat angka-angka yang sengaja disesuaikan. Sampai akhirnya seseorang tidak tahan lagi. Kadang orang itu adalah staf biasa. Kadang, presiden direktur.
Membangun Kembali Kepercayaan pada Angka
Lalu, apa solusinya?
Pertama, kita harus mengubah cara pandang terhadap KPI merah. Harus dibiasakan. Harus dinormalisasi. Pemimpin harus memberi contoh. Ceritakan secara terbuka kapan target tidak tercapai, dan apa pelajaran yang dibisa.
Kedua, ganti rasa curiga dengan rasa ingin tahu. Saat seseorang melaporkan kalau KPI-nya tidak tercapai, jangan buru-buru tanya, “Kok bisa gagal?” Tapi tanyakan, “Apa yang kita pelajari dari ini?”
Ketiga, pisahkan antara performa dan harga diri. KPI merah tidak berarti Anda buruk. Itu cuma berarti ada sistem yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bisa jadi target-nya tidak realistis. Bisa jadi kondisi berubah. Bisa jadi ada kesalahan manusiawi. Semua itu bukan hal yang memalukan. Itu bagian dari realita.
Dan terakhir: ingatlah kalau tujuan KPI bukan untuk terlihat hebat.
Tapi untuk benar-benar jadi lebih baik.
Ini Bukan Skandal, Ini Peringatan
Kisah pengunduran diri presdir itu seharusnya tidak cuma jadi skandal yang dibahas diam-diam. Ini harus jadi peringatan besar. Karena masalah utamanya bukan satu orang yang memalsukan data. Tapi sistem yang membuat kejujuran terasa seperti pilihan yang paling berbahaya.
Kalau ini bisa terjadi di pucuk pimpinan, bisa dipastikan ini juga terjadi di bawah. Di tengah. Di mana-mana. Orang-orang yang mengutak-atik angka. Yang menyembunyikan delay. Yang membuat laporan tampak manis. Bukan karena mereka jahat. Tapi karena mereka tidak merasa aman untuk berkata jujur.
Anda bisa punya sistem pelaporan secanggih apa pun. Tapi kalau orang-orang yang mengisinya merasa terancam, maka data yang Anda dapatkan tetaplah kebohongan.
Dan keputusan apa pun yang diambil dari kebohongan… akan menyesatkan.
Anda juga pasti suka:
- Pertarungan Diam-Diam dalam Memonitor KPI di Rantai Pasok
- Menghadapi Peak Season dan Pembatasan Jalan Saat Liburan Tanpa Kekacauan
Apa yang Terjadi Kalau Kita Membuat KPI Merah Jadi Biasa
Ada organisasi yang sudah mulai berubah. Di sana, KPI merah bukan dianggap aib. Tapi justru jadi awal kolaborasi. Ketika target meleset, mereka tidak saling menyalahkan. Mereka duduk bersama. Mereka mencari akar masalah. Mereka belajar.
Dan efeknya luar biasa.
Orang-orang berhenti berbohong. Mereka mulai terbuka. Mereka melaporkan masalah lebih awal, bukan saat semuanya sudah terlambat. Mereka berbagi pelajaran. Mereka lebih inovatif. Dan, ya—akhirnya performa mereka juga naik.
Bukan karena tidak pernah gagal.
Tapi karena setiap kali gagal, mereka belajar lebih cepat.
Biaya Emosional dari Budaya Diam
Di balik setiap laporan palsu, ada manusia. Seseorang yang dulunya mungkin idealis. Yang ingin melakukan hal benar. Tapi lama-lama merasa kalau satu-satunya cara untuk bertahan… adalah diam. Atau pura-pura sukses.
Itulah biaya yang sering tidak kita hitung. Bukan cuma kerugian bisnis. Tapi kerusakan emosional. Keletihan batin. Hilangnya rasa percaya pada sistem. Rusaknya integritas. Bukan sebagai ledakan, tapi sebagai erosi perlahan.
Kita tidak bisa terus membangun sistem yang menghasilkan itu.
Kita tidak butuh dashboard yang lebih cantik.
Kita butuh tempat kerja yang lebih manusiawi.
Bagaimana Kalau Kita Bisa Melakukannya dengan Benar?
Bayangkan ini: sebuah tim masuk ke ruang rapat bulanan. Dua KPI mereka merah. Tapi ruangan tetap tenang. Tidak ada yang tegang. Seseorang berkata, “Ini kondisi kami. Ini yang kami pelajari. Kami butuh masukan untuk dua area ini.”
Diskusi berjalan fokus. Tidak emosional. Tidak menyalahkan. Semua orang mencari solusi. Rapat berakhir dengan kejelasan. Dengan rasa percaya. Dengan harapan.
Ini bukan impian. Ini bisa terjadi.
Tapi cuma kalau kita memperlakukan KPI sebagai alat untuk tumbuh, bukan alat untuk menghakimi.
Dan itu dimulai dari kita semua.
Satu rapat demi satu rapat.
Satu reaksi demi satu reaksi.
Satu KPI merah demi satu KPI merah.
Siapkah Anda membuat KPI merah jadi aman untuk dibicarakan?
Semoga bermanfaat!
Bagikan artikel ini ke rekan Anda yang lain supaya mereka juga mendapatkan manfaatnya. Untuk lebih banyak insight bermanfaat tentang supply chain management, follow akun LinkedIn saya. Dapatkan juga ebook dari scmguide.com di sini untuk semakin menambah wawasan supply chain management Anda. Anda bebas menggunakan semua artikel di blog ini untuk tujuan apapun, termasuk komersil, tanpa perlu memberikan atribusi.