Mari kita bicara terus terang.
Ketika nilai tukar mata uang melemah, dampaknya terasa nyata—terutama kalau Anda menjalankan bisnis manufaktur yang sangat bergantung pada barang atau bahan impor. Tiba-tiba, bahan baku jadi lebih mahal. Mesin, spare part, kemasan, semua yang Anda datangkan dari luar negeri—langsung melonjak harganya. Dan kalau Anda mau mempertahankan margin keuntungan, saat inilah semuanya mulai terasa sesak.
Oke, kalau Anda perusahaan yang ekspor, mungkin ini waktu yang menyenangkan. Nilai tukar yang melemah bikin produk Anda kelihatan lebih murah di pasar internasional. Order bisa naik. Itu kabar baik. Tapi kalau bisnis Anda dominan impor? Kalau model bisnis Anda sangat sensitif terhadap kurs? Kalau Anda tidak bisa dengan mudah menaikkan harga jual setiap kali nilai tukar anjlok?
Kalau itu Anda, maka Anda tidak bisa diam. Karena ketika fluktuasi nilai tukar datang, harapan bukan strategi. Aksi adalah kunci.
Sebelum kita lanjutkan bahasan menarik ini, jangan lupa untuk follow juga akun LinkedIn saya. Anda akan mendapatkan lebih banyak insight bermanfaat tentang supply chain management di sana. Dapatkan juga ebook dari scmguide.com di sini untuk semakin menambah wawasan supply chain management Anda.
Table of Contents
Realita Pahit: Anda Sedang Berdarah Uang
Bayangkan situasi ini. Anda punya kontrak pembelian dalam mata uang USD. Atau mungkin EUR, JPY, CNY—apa pun itu, sekarang nilainya lebih kuat dibanding rupiah. Artinya, setiap dolar, euro, yen, atau yuan yang Anda bayarkan menguras kas Anda lebih banyak.
Dulu Anda bayar $10.000 dengan kurs 14.000, itu berarti 140 juta rupiah. Sekarang kurs 16.000, Anda bayar 160 juta untuk barang yang sama. Tidak ada peningkatan kualitas. Tidak ada nilai tambah. Cuma uang lebih banyak keluar. Setiap transaksi terasa menyakitkan.
Dan kalau Anda berpikir, “Ya udah, naikin harga jual saja buat nutupin,”—selamat mencoba. Apalagi kalau Anda bermain di pasar yang kompetitif, di mana naik harga bisa langsung bikin pelanggan kabur.
Jadi sekarang bagaimana?
Ini Bukan Waktu untuk Diam
Banyak tim supply chain yang langsung ‘membeku’ saat krisis seperti ini. Mereka berpikir, “Ini urusan finance, biar mereka yang atur.” Atau mereka pasrah karena merasa tidak ada yang bisa dilakukan—nilai tukar di luar kendali kita, kan?
Tapi ini kenyataannya. Kalau Anda kerja di supply chain dan Anda cuma duduk melihat biaya naik tanpa bertindak, Anda sedang menjadi bagian dari masalah. Supply chain bukan cuma soal memindahkan barang dari titik A ke B. Ini mesin biaya, mesin nilai, dan mesin manajemen risiko. Kalau Anda tidak bergerak saat margin laba terancam, Anda bukan sedang mengelola rantai pasok—Anda cuma sedang menjalankannya.
Dan sekadar menjalankan tidak cukup sekarang.
Anda juga pasti suka:
- Ketika Bea Masuk Tinggi Mengacaukan Akses Pasar Anda
- Bisnis Anda Memang Berjalan, Tapi Tanpa KPI, Anda Belum Benar-Benar Mengelola
Kalau Penjualan Tidak Bisa Naik, Maka Biaya Harus Turun
Bayangkan bisnis Anda sedang buntu. Penjualan stagnan. Permintaan lesu. Harga jual tidak bisa sembarangan dinaikkan. Anda tidak bisa berharap ‘jualan lebih banyak’ untuk nutupin biaya. Anda harus lihat ke dalam.
Di sinilah supply chain bisa jadi pahlawan—atau sebaliknya. Karena saat bisnis sedang berdarah, cara tercepat menghentikan kerugian adalah memperlambat kebocoran. Penghematan biaya jadi medan perang. Dan supply chain ada di garis depan.
Tapi ini bukan berarti asal potong sana-sini. Cost cutting yang sembrono bisa merusak level service, kualitas, bahkan jangka panjang bisnis Anda. Tapi optimalisasi biaya yang cerdas? Itu kekuatan super Anda.
Mulai tanya pertanyaan penting. Apakah Anda membeli terlalu banyak? Apakah supplier Anda punya biaya tersembunyi? Apakah Anda masih pakai ekspedisi premium cuma karena “lebih gampang”? Apakah gudang Anda penuh barang yang tidak dibutuhkan? Apakah MOQ Anda masuk akal atau cuma karena “dari dulu begitu”?
Matikan autopilot. Pertanyakan semuanya.
Fokus Pada Biaya yang Bisa Anda Kontrol
Anda mungkin tidak bisa mengatur nilai tukar. Anda mungkin tidak bisa mengatur harga jual. Tapi Anda bisa mengatur berapa banyak inventory yang Anda simpan. Anda bisa mengatur siapa yang Anda beli, seberapa sering, dalam kuantitas berapa. Anda bisa mengatur seberapa efisien logistik Anda. Anda mengatur lead time, reorder point, dan strategi replenishment.
Mungkin Anda bisa negosiasi ulang kontrak. Mungkin Anda bisa pindah ke supplier lokal—walaupun unit cost-nya sedikit lebih tinggi, bisa jadi total landed cost-nya lebih rendah kalau Anda hitung duty, freight, dan risiko kurs.
Mungkin Anda bisa konsolidasi shipment. Atau efisiensi kemasan. Atau ubah INCOTERM yang mengurangi eksposur mata uang asing. Atau evaluasi ulang lokasi gudang Anda. Sekarang saatnya membangun ulang supply chain Anda berdasarkan logika baru—bukan kebiasaan lama.
Jangan tunggu disuruh. Bawa opsi ke meja rapat. Tunjukkan ke manajemen di mana Anda bisa hemat biaya tanpa menghancurkan kualitas atau pengalaman pelanggan.
Pikirkan End-to-End, Bukan Cuma Bagian Anda
Supply chain bukan silo, dan mindset hemat biaya Anda juga tidak boleh silo. Kalau Anda cuma potong biaya di satu titik—misalnya, procurement—tapi ternyata itu bikin logistik membengkak atau kualitas barang turun, ya Anda malah rugi total.
Kerja sama dengan tim finance untuk pahami dampak penuh dari fluktuasi kurs. Diskusi dengan tim planning buat evaluasi safety stock. Bicara ke tim produksi untuk ubah batch size atau spesifikasi material. Koordinasi dengan R&D buat cari material alternatif. Ajak marketing kalau Anda perlu bikin keputusan substitusi produk.
Ini kerja lintas fungsi. Tidak bisa satu tim menyelesaikan semuanya. Tapi supply chain punya posisi unik—menghubungkan semua fungsi. Anda bisa jadi jembatan antara strategi dan eksekusi. Tinggal Anda mau ambil peran itu atau tidak.

Lindungi Margin Anda Seolah Masa Depan Anda Bergantung Padanya—Karena Bisa Jadi Memang Iya
Mari kita realistis. Kalau bisnis kehilangan terlalu banyak margin, biasanya ada konsekuensi: pemangkasan anggaran, pemecatan, proyek dihentikan. Ini mode bertahan hidup.
Anda ada di jalur langsung menuju bottom line perusahaan. Kalau Anda bantu lindungi margin, Anda bukan cuma sedang kerja dengan baik—Anda sedang membuktikan kalau supply chain itu strategis. Dan dalam masa sulit, strategi adalah segalanya.
Jadi jangan cuma melacak biaya. Serang biaya itu. Jangan cuma mengawasi risiko. Redam risiko itu. Jangan cuma laporan angka. Ubah angkanya.
Berhenti Berpikir Sebagai Koordinator. Mulai Berpikir Sebagai Engineer
Kalau satu-satunya respons Anda terhadap krisis nilai tukar adalah update spreadsheet atau ubah angka PO, berarti Anda sedang berpikir terlalu kecil.
Supply chain bukan soal proses transaksi. Ini soal mendesain aliran. Dan saat lingkungan berubah—misalnya karena kurs melemah—Anda mendesain ulang aliran itu. Itulah mindset engineer.
Pikirkan sistem. Pikirkan constraint. Simulasi. Buat skenario. Rancang ulang supply network. Tantang asumsi Anda sendiri.
Kalau Anda diberi tantangan: “Kita harus pangkas 10% biaya supply chain dalam 3 bulan atau risiko tutup operasi,” apa yang akan Anda lakukan? Menunggu disuruh? Atau mulai membongkar sistem dan memburu inefisiensi seperti anjing pelacak?
Inilah saatnya Anda membuktikan kalau supply chain bukan beban—tapi senjata persaingan.
Anda juga pasti suka:
- Menguasai Seni Menyusun Strategi Rantai Pasok yang Efisien
- Ketika Kepemimpinan Mengabaikan Data dan Logika, Apa yang Harus Anda Lakukan?
Jangan Buang-Buang Krisis
Krisis membuka kelemahan. Tapi juga menunjukkan kekuatan. Perusahaan yang menang saat kurs fluktuatif bukan yang punya prediksi paling akurat—tapi yang gerak paling cepat. Yang bisa melihat tanda-tanda lebih awal dan bertindak.
Momen saat kurs melemah dan margin tergerus adalah ujian. Bukan cuma untuk sistem Anda. Tapi untuk mentalitas Anda.
Apakah Anda reaktif atau proaktif? Apakah Anda sekadar fungsi? Atau kekuatan?
Gunakan krisis ini untuk berbenah. Modernisasi. Automasi. Sederhanakan. Pertanyakan semua kebijakan yang diawali dengan kalimat, “Dari dulu juga begini.”
Karena kalau Anda bisa keluar dari krisis mata uang ini dengan supply chain yang lebih ramping, cerdas, dan tangguh, Anda bukan cuma selamat. Anda naik kelas.
Dan itulah yang dilakukan profesional supply chain sejati. Mereka tidak sekadar mengikuti arus. Mereka membentuk arusnya.
Diam Itu Bukan Netral. Diam Itu Bahaya
Gampang sekali untuk menghilang saat tekanan datang. Tapi di tengah badai kurs seperti ini, diam itu bukan aman. Diam itu tidak terlihat. Dan profesional supply chain yang tidak terlihat, tidak akan pernah dianggap penting dalam rapat strategis.
Kalau Anda mau peran Anda dihargai, Anda harus muncul membawa data, wawasan, dan aksi. Tunjukkan bagaimana setiap rupiah yang hilang karena kurs bisa ditutupi lewat keunggulan operasional. Hubungkan titik-titiknya. Edukasi organisasi Anda.
Dan pastikan semua tahu: supply chain bukan fungsi pasif. Ini tuas strategis.
Bawa Solusi, Bukan Alasan
Kesimpulannya begini. Kalau kurs membuat bisnis Anda berdarah, dan satu-satunya hal yang bisa Anda katakan adalah, “Ya, semua jadi mahal sih sekarang,”—berarti Anda tidak sedang bawa nilai.
Bawa alternatif. Bawa analisa. Bawa pertanyaan kritis dan jawaban kreatif. Bawa semangat bertarung.
Karena seseorang harus berdiri dan berkata: “Kami tidak akan biarkan kurs buruk menentukan nasib kami.”
Dan orang itu—harusnya Anda.
Semoga bermanfaat!
Bagikan artikel ini ke rekan Anda yang lain supaya mereka juga mendapatkan manfaatnya. Untuk lebih banyak insight bermanfaat tentang supply chain management, follow akun LinkedIn saya. Dapatkan juga ebook dari scmguide.com di sini untuk semakin menambah wawasan supply chain management Anda. Anda bebas menggunakan semua artikel di blog ini untuk tujuan apapun, termasuk komersil, tanpa perlu memberikan atribusi.