Desember 20, 2024

Bagaimana Keputusan Supply Chain yang Salah Bisa Menghancurkan Sebuah Bisnis

Keputusan supply chain yang salah, bisa menghancurkan sebuah bisnis. Dan itu terjadi. Pada postingan kali ini, kita akan bahas mengenai hal tersebut.

Tapi sebelum kita mulai, pastikan kalau Anda juga sudah bergabung dengan scmguide telegram channel untuk tetap mendapatkan notifikasi postingan terbaru dari blog ini dan mendapatkan lebih banyak insight seputar supply chain management lainnya.

Asumsi yang dipaksakan

Sebuah perusahaan berencana untuk meluncurkan produk terbaru mereka. Mereka punya ekspektasi yang tinggi kalau produk tersebut akan diterima dengan baik oleh pasar. Mereka mengasumsikan volume penjualan yang tinggi sebagai dasar semua perhitungan mereka.

Yang menarik, tim marketing mereka sendiri ngga percaya diri dengan asumsi volume penjualan yang setinggi itu. Mereka merasa asumsi tersebut terlalu tinggi untuk dicapai. Mereka mengestimasikan penjualan produk baru tersebut ngga akan lebih dari 40% asumsi volume yang Top Management targetkan. Dan mereka sudah menyampaikan hal tersebut kepada project owner yang bersangkutan.

Sayangnya, project owner tersebut ngga mendengarkan pendapat mereka walaupun apa yang mereka sampaikan sudah didukung dengan data yang cukup.

Sang project owner mengabaikan opini jujur dari tim mereka sendiri dan mengedepankan ego mereka. Dia tetap ingin meng-goal-kan project tersebut. Dia tetap memaksakan asumsi volume penjualan yang tinggi tersebut demi memuluskan rencananya meluncurkan produk baru itu.

Keadaan ini membuat tim marketing dan seluruh project member pun mengikuti apa yang project owner tersebut paksakan. Karena tentu saja mereka ngga ingin kehilangan pekerjaan kan?

Dan mereka pikir, toh tetap project owner-lah yang akan bertanggung jawab terhadap berhasil atau tidaknya produk tersebut di pasar.

keputusan supply chain yang salah bisa menghancurkan sebuah bisnis

Akhirnya, produk baru tersebut tetap diluncurkan sesuai jadwal.

Peluncurannya dilakukan dengan sangat megah. Yang lagi-lagi, menghabiskan uang yang ngga sedikit.

Mereka menggembar-gemborkan bahwa produk tersebut akan laris di pasaran sesuai dengan asumsi volume penjualan mereka.

Awal kehancuran bisnis

Ketika produk baru akan diluncurkan, tentu saja akan butuh banyak dukungan dari semua fungsi. Ada banyak hal yang harus dipersiapkan untuk membuat sebuah produk baru bisa diluncurkan tepat waktu.

Dan itulah yang perusahaan ini lakukan.

Fasilitas produksi

Untuk memastikan cukup produk tersedia di pasar, mereka pun mulai membangun fasilitas produksi baru. Mesin-mesin produksi didatangkan dan dipasang di pabrik yang baru saja mereka bangun untuk mensukseskan project tersebut.

Mesin-mesin dengan teknologi terbaru disiapkan untuk membuat operasi mereka semakin efektif dan efisien. Yang tentu saja biaya pengadaan mesin tersebut lebih tinggi dibandingkan mesin yang biasa mereka gunakan di fasilitas produksi mereka yang ada sekarang ini.

Semua keputusan tersebut didasarkan pada asumsi mereka akan bisa menjual sebanyak volume penjualan yang mereka harapkan.

Anda juga pasti suka:

Fasilitas penyimpanan

Fasilitas penyimpanan baru pun ngga luput dari persiapan mereka. Gudang yang cukup luas untuk menyimpan semua inventory yang harus mereka simpan.

Mereka membuat gudang baru, membeli rak-rak penyimpanan, dan membeli peralatan material handling, seperti hand pallet, forklift, dsb.

ERP system

Untuk mendukung operasi mereka sehari-hari yang semakin kompleks, mereka pun mengganti sistem ERP yang sudah berjalan sekarang dengan sistem yang baru. Yang Anda tentu tahu, mengganti sistem ERP menghabiskan biaya, waktu, dan tenaga yang cukup banyak.

Kedatangan supplier global

Lebih jauh lagi, mereka juga mengajak beberapa supplier global mereka untuk juga berinvestasi di lokal karena mereka sangat percaya diri dengan asumsi volume yang mereka targetkan.

Dan para supplier tersebut pun menginvestasikan uang mereka untuk membangun fasilitas lokal lengkap, mulai dari fasilitas produksi, penyimpanan, dan pengiriman. Semua untuk mendukung asumsi volume penjualan yang diinformasikan oleh customer mereka.

Mempekerjakan karyawan

Dan tentu saja, bisnis memerlukan karyawan untuk bekerja di dalamnya. Mereka pun mulai mempekerjakan banyak karyawan untuk menjalankan operasi sehari-hari di fasilitas baru tersebut.

Setelah produk diluncurkan

Segera setelah produk baru tersebut diluncurkan, sepertinya semua berjalan seperti yang mereka harapkan. Paling tidak, sepertinya begitu.

Produksi berjalan lancar dan produk baru tersebut dikirimkan ke distributor-distributor mereka sebanyak target penjualan mereka. Semua berjalan sempurna.

Sayangnya, mereka lupa, kalau pengiriman yang terjadi pada saat awal produk diluncurkan hanyalah untuk mengisi inventory pipeline di distributor. Untuk mengisi inventory toko-toko penjualan mereka. Bukan penjualan yang sebenarnya ke end customer.

Dan benar saja, beberapa bulan setelah produk tersebut memenuhi gudang-gudang distributor, dan penjualan yang sebenarnya terjadi, angka penjualan produk tersebut jauh berada di bawah ekspektasi mereka.

Apa yang ditakutkan oleh para tim marketing di awal, terjadi.

Produk mereka ngga bisa bersaing dengan produk lain yang sudah ada di pasar.

Semua investasi besar yang mereka keluarkan di awal, ngga kembali.

Dan operational cost yang harus mereka keluarkan sekarang terlalu tinggi untuk volume penjualan yang serendah itu.

Mereka juga mempekerjakan terlalu banyak karyawan untuk volume produksi serendah itu. Akibatnya, banyak karyawan yang idle. Ngga ada yang harus dikerjakan. Bahkan sebagian yang lain terpaksa di-rumah-kan.

Pada akhirnya, bisnis ngga sanggup lagi untuk menanggung biaya operasional tersebut. Mereka menutup semua fasilitas dan memberhentikan semua karyawan.

Banyak orang yang kehilangan pekerjaan.

Bagaimana dengan supplier?

Mereka berbondong-bondong komplain dan meminta kompensasi atas order mereka yang ngga terealisasi. Dan itu sangat wajar karena sudah mengeluarkan banyak uang untuk berinvestasi berdasarkan asumsi volume order yang akan mereka terima.

Perusahaan pun mau ngga mau harus membayar kompensasi tersebut. Yang membawa mereka semakin merugi.

Belum lagi hubungan mereka yang menjadi renggang dengan supplier. Apapun informasi yang mereka berikan kepada supplier setelahnya, ngga lagi dipercaya.

Anda juga pasti suka:

Pelajaran yang diambil

Dari kasus di atas, ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil:

  1. Input dari karyawan Anda itu penting. Mereka bisa memberi Anda opini yang jujur tentang apakah sebuah produk akan diterima pasar atau ngga. Karena bagaimana pun, di luar pekerjaan, mereka adalah “konsumen” yang sedikit banyak bisa mewakili suara pasar. Mereka tahu apa yang mereka inginkan, dan pasar pun kemungkinan akan melihat seperti itu. Terlebih kalau memang karyawan Anda adalah ahli di bidangnya. Itu adalah input berharga yang ngga seharusnya Anda lewatkan. Dalam kasus di atas, tim project tetap berani menyampaikan apa yang mereka pikirkan walaupun ngga didengar. Kalau anda punya tim seperti ini, Anda beruntung.
  2. Pengambil keputusan sangat besar pengaruhnya untuk sukses atau tidaknya sebuah bisnis. Sebagai pengambil keputusan, Anda ngga bisa mendasarkan keputusan tersebut pada ego pribadi anda sendiri. Anda harus mendengarkan banyak pihak, dari berbagai sudut pandang, yang didukung dengan data yang reliable.
  3. Setiap keputusan bisnis yang diambil akan berpengaruh ke banyak pihak. Bukan terhadap perusahaan Anda sendiri saja, tapi juga pada karyawan Anda dan keluarga mereka. Belum lagi dengan supplier-supplier Anda dan seluruh karyawan beserta keluarganya.
  4. Dari sisi supplier, mereka ngga seharusnya 100% percaya begitu saja dengan asumsi volume order yang diberikan customer pada mereka. Mereka tetap harus menganalisa feasibility terhadap bisnis mereka sendiri. Apakah itu akan menguntungkan atau ngga, dan bagaimana dengan prospek ke depannya.
  5. Supplier harus punya customer lain. Jangan cuma mengandalkan satu customer saja. Resikonya akan terlalu besar.
  6. Punya ekspektasi tinggi itu boleh, bahkan penting. Tapi tetap harus realistis. Periksa lagi apakah ekspektasi project Anda saat ini terlalu tinggi (ngga realistis) atau masih bisa Anda capai.

Semoga bermanfaat!

Kalau Anda pikir artikel ini bermanfaat, bagikan juga ke rekan Anda yang lain. Pastikan juga Anda sudah bergabung dengan scmguide telegram channel supaya ngga ketinggalan notifikasi postingan terbaru dari blog ini dan mendapatkan lebih banyak insight seputar supply chain management lainnya. Semua artikel dalam blog ini bebas Anda gunakan untuk apapun keperluan Anda, termasuk komersil, tanpa harus memberikan atribusi.

Avatar photo

Dicky Saputra

Saya adalah seorang profesional yang bekerja di bidang Supply Chain Management sejak tahun 2004. Saya membantu perusahaan untuk meningkatkan kinerja keseluruhan supply chain mereka.

View all posts by Dicky Saputra →