Mei 15, 2025

Mengapa Tim Supply Chain Anda Perlu Berpikir Seperti Engineer untuk Bisa Scale-Up

Tembok Sunyi Antara Operasi dan Engineering

Anda mungkin merasakannya setiap hari, meski tak selalu bisa menyebutnya dengan jelas. Ketegangan antara “menyelesaikan pekerjaan” dan “memperbaiki cara kerja”. Budaya pemadam kebakaran di sisi operasi versus cara berpikir sistematis dan visioner dari sisi engineering. Kalau Anda memimpin tim supply chain tanpa fungsi engineering khusus, kemungkinan besar Anda sangat familiar dengan ini.

Orang-orang operasi adalah ahli dalam menjaga mesin tetap berjalan. Mereka melacak pengiriman, menyelesaikan masalah hari ini, dan bekerja keras untuk mencapai KPI minggu ini. Mereka hidup di masa kini. Engineer, di sisi lain, hidup di masa depan. Mereka bertanya, “Bagaimana kita bisa mendesain ulang proses ini supaya masalah ini tidak terulang lagi?” Mereka terbiasa mencegah, berpikir sistemik, dan mengoptimalkan jangka panjang.

Di banyak perusahaan, dua fungsi ini berjalan berdampingan. Tapi di organisasi yang lebih kecil atau tim yang ramping, sering kali tidak ada tim engineering supply chain. Lalu siapa yang mengerjakan pekerjaan engineering? Sering kali tidak ada. Atau lebih buruk, pekerjaan itu diberikan ke tim operasi tanpa pelatihan, alat, atau waktu yang cukup untuk melakukannya dengan benar.

Dan di situlah tembok mulai terbentuk—diam-diam tapi kokoh. Tembok ketidaksalingpahaman, ekspektasi yang tak selaras, dan potensi yang tidak tergali. Tembok yang membuat orang berpikir kalau pekerjaan mereka cumalah menyelesaikan hari ini, bukan mengubah bagaimana hari ini berjalan.

Sebelum kita lanjutkan bahasan menarik ini, jangan lupa untuk follow juga akun LinkedIn saya. Anda akan mendapatkan lebih banyak insight bermanfaat tentang supply chain management di sana. Dapatkan juga ebook dari scmguide.com di sini untuk semakin menambah wawasan supply chain management Anda.

Saat Tim Operasi Diberi Tugas Engineering

Mari kita lihat apa yang sebenarnya terjadi ketika orang-orang dari sisi operasi diberi tugas engineering.

Mereka diminta mendesain layout gudang, mengoptimalkan rute transportasi, menganalisis data throughput, atau membangun model simulasi. Tapi tak ada yang mengajarkan mereka bagaimana berpikir seperti engineer. Mereka mendekati tugas itu seperti mereka mendekati pekerjaan harian: cepat, praktis, dan reaktif. Selesaikan masalah, lanjut ke yang berikutnya.

Padahal, masalah engineering tidak bisa diselesaikan cuma dengan naluri. Dibutuhkan pemodelan, validasi, iterasi, dan kadang keberanian untuk mundur selangkah demi bisa maju lebih jauh. Jadi saat orang operasi menyelam ke wilayah engineering tanpa pelampung, beberapa hal terjadi.

Keputusan diambil dengan cepat, tapi tidak selalu akurat. Solusi lebih mengutamakan kecepatan daripada keberlanjutan. Proyek macet karena pekerjaan rutin tak pernah berhenti. Dan yang paling menyedihkan, operator yang berbakat merasa frustrasi, kewalahan, atau bahkan merasa tidak mampu—bukan karena mereka kurang pintar, tapi karena tidak dipersiapkan untuk berhasil di dimensi baru ini.

Dalam rapat, setengah orang berbicara tentang constraints, trade-off, dan efek hilir-hulu, sementara sisanya berpikir, “Gimana caranya capai target minggu ini?” Perbedaan itu bukan soal kecerdasan, tapi cara pikir. Yang satu berpikir jangka pendek; yang lain jangka panjang. Yang satu padamkan api; yang lain cegah kebakaran.

Anda juga pasti suka:

Tapi Ini Kabar Baiknya: Bisa Kok

Kabar baiknya, dengan pendekatan yang tepat, orang-orang dari operasi bisa banget mengadopsi pola pikir engineering. Bahkan, mereka sering membawa sesuatu yang tidak dipunya engineer tradisional: pemahaman konteks yang sangat dalam.

Mereka tahu di mana titik-titik sakitnya. Mereka tahu workaround mana yang ada dan kenapa. Mereka tahu solusi apa yang benar-benar bisa diterapkan di lapangan, bukan cuma di atas kertas. Kalau mereka bisa menggabungkan itu dengan cara berpikir sistemik, analisis data, dan pola pikir proaktif, mereka akan jadi sangat kuat.

Dan ya, perjalanannya pelan. Tapi kekuatan bukan di kecepatan. Kekuatan ada di arah. Kalau Anda bisa mengubah arah pikir seseorang—meski cuma 10 derajat ke arah pemecahan masalah yang lebih terstruktur, pemikiran yang lebih menyeluruh, dan lebih banyak mempertanyakan status quo—Anda sudah menanam benih perubahan sejati.

Orang-orang operasi tidak mulai dari nol. Mereka sudah ahli dalam mengenali pola. Mereka jago melihat keanehan yang tidak dilihat orang lain. Mereka pintar mendiagnosis apa yang rusak. Langkah selanjutnya adalah bantu mereka bertanya kenapa rusak, bagaimana cara merancang ulang, dan apa dampaknya di hilir.

Scale-Up Butuh Lebih dari Sekadar Kerja Keras

Mari kita ucapkan keras-keras: kerja keras saja tidak cukup untuk scale-up. Kalau Anda ingin supply chain tumbuh tanpa hancur, Anda butuh orang yang berpikir soal bottleneck sebelum itu terjadi, bukan cuma yang sigap merespons saat sudah terjadi.

Anda butuh redesign sistem, bukan nambah orang. Anda butuh alat yang mencegah masalah, bukan cuma dashboard yang melaporkannya. Anda butuh tim yang berhenti berpikir, “Gimana caranya selamat hari ini?” dan mulai berpikir, “Bagaimana seharusnya proses ini dirancang kalau kita mau gandakan volume kuartal depan?”

Saat bisnis masuk fase scaling, biaya dari culture pemadam kebakaran naik berkali-kali lipat. Masalah kecil yang dulu bisa dikelola jadi krisis berantai. Sedikit keterlambatan di penerimaan barang bikin picking berantakan, loading outbound terganggu, jadwal pengiriman molor, ujung-ujungnya komplain pelanggan. Kalikan itu dua, lima, sepuluh kali. Itulah yang dilakukan scaling—mengamplifikasi kelemahan sistem.

Dan ini fakta penting: menambah orang tidak akan menyelesaikan masalah. Malah bisa jadi menutupinya. Karena manusia memang hebat menyerap kompleksitas—sampai mereka burnout.

Designed by Freepik

Menjembatani Jarak Dimulai dari Pola Pikir

Lalu dari mana mulai?

Mulai dari pola pikir. Bukan dari tools, bukan dari struktur organisasi, bukan dari judul pekerjaan. Dari mindset.

Bantu tim Anda melihat kalau engineering bukan sekadar departemen—itu cara berpikir. Tentang rasa ingin tahu, sistematis, dan reflektif. Tentang menyelesaikan akar masalah, bukan gejala. Tentang berpikir dalam kerangka sistem, trade-off, dan keuntungan jangka panjang.

Anda tak perlu ubah semuanya dalam semalam. Perkenalkan kebiasaan engineering satu per satu. Minta orang memetakan proses. Dorong mereka mempertanyakan asumsi. Biarkan mereka menganalisis pola masalah harian, bukan langsung menambalnya. Sisipkan waktu refleksi dalam review mingguan.

Mulailah dari kecil. Ambil satu masalah yang sering muncul dan habiskan satu minggu cuma untuk memetakan penyebabnya. Tanpa solusi dulu. Cuma analisis. Biasakan melihat masalah sebagai sistem. Lalu perlahan mulai redesain. Brainstorm opsi. Bahas trade-off. Uji coba dalam skala kecil. Belajar. Iterasi. Scale.

Ini bukan soal melambat. Ini soal menjadi lebih cerdas.

Kurva Belajarnya Nyata, dan Layak Dijalani

Ya, perjalanannya akan lambat. Orang-orang akan merasa tidak nyaman di awal. Dan proyek engineering butuh waktu untuk menampakkan hasil.

Tapi setiap sesi refleksi, setiap pemetaan proses, setiap pertanyaan “kenapa” yang jujur, semuanya akan terakumulasi. Anda bukan cuma membangun sistem yang lebih baik—Anda membentuk pemikir yang lebih baik. Dan itulah yang akan menjaga supply chain Anda tetap sehat dalam menghadapi pertumbuhan, kompleksitas, dan perubahan.

Lambat laun, Anda akan punya operator yang bisa zoom in dan zoom out dengan mudah. Orang yang bisa eksekusi hari ini dan merancang hari esok. Orang yang sama nyamannya menjalankan sistem dan membayangkan ulang sistem tersebut.

Dan ini yang menarik: saat orang mengadopsi pola pikir engineer, mereka mulai merasa empowered. Dari reaktif menjadi proaktif. Dari eksekutor menjadi perancang. Dari mengikuti instruksi menjadi pembuat keputusan.

Energi tim Anda pun berubah. Lebih sedikit pemadaman kebakaran, lebih banyak pemecahan masalah. Lebih sedikit saling menyalahkan, lebih banyak berpikir sistemik. Lebih sedikit “saya sudah kerjakan bagian saya”, lebih banyak “bagian ini menyambung ke mana ya?”

Anda juga pasti suka:

Cerita Nyata: Ketika Operator Jadi Engineer

Mari kita bayangkan seorang operator bernama Sarah. Ia sudah lima tahun bekerja di fulfillment. Ia hafal gudang luar kepala. Ia tahu zona mana yang melambat saat peak, SKU mana yang bikin picking error, dan semua workaround tak resmi.

Sekarang bayangkan Sarah diundang ke sesi pemetaan proses. Awalnya dia anggap remeh—“kita sudah tahu masalahnya.” Tapi kemudian dia melihat lebih luas. Keterlambatan di hulu yang selama ini tak dia sadari. Constraint yang dihadapi tim lain. Efek domino dari satu trailer yang telat.

Lalu Sarah mulai bertanya. “Gimana kalau urutan terima pallet kita ubah?” “Kalau picker tahu info ini lebih awal gimana?” Giginya mulai berputar.

Beberapa bulan kemudian, Sarah memimpin event Kaizen lintas tim. Dia pakai analisis data sederhana untuk mendukung usulan. Dia menyampaikan trade-off ke manajemen. Dia jadi supply chain engineer—tanpa titel.

Itulah transformasi yang kita maksud.

Anda Tak Butuh Tim Penuh Engineer. Anda Butuh Tim yang Berpikir Seperti Engineer.

Kalau Anda adalah pemimpin supply chain tanpa tim engineering, itu bukan keterbatasan. Itu peluang. Peluang membentuk tim jenis baru, yang tak sekadar kerja keras, tapi berpikir tajam.

Perubahan ini tak akan terjadi semalam. Tapi bisa dimulai hari ini.

Yang dibutuhkan cumalah satu operator yang penasaran, satu percakapan terbuka, satu momen “kenapa sih kita kerjainnya kayak gini?” Di situlah engineer lahir—bukan di ruang kuliah, tapi di pertanyaan.

Dan Anda punya semua yang dibutuhkan untuk menyalakan api itu.

Mulai dari tempat Anda berada. Gunakan apa yang Anda punya. Bentuklah tim yang Anda butuhkan.

Semoga bermanfaat!

Bagikan artikel ini ke rekan Anda yang lain supaya mereka juga mendapatkan manfaatnya. Untuk lebih banyak insight bermanfaat tentang supply chain management, follow akun LinkedIn saya. Dapatkan juga ebook dari scmguide.com di sini untuk semakin menambah wawasan supply chain management Anda. Anda bebas menggunakan semua artikel di blog ini untuk tujuan apapun, termasuk komersil, tanpa perlu memberikan atribusi.

Avatar photo

Dicky Saputra

Saya adalah seorang profesional yang bekerja di bidang Supply Chain Management sejak tahun 2004. Saya membantu perusahaan untuk meningkatkan kinerja keseluruhan supply chain mereka.

View all posts by Dicky Saputra →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *