Hari masih pagi. Anda baru saja menyeruput kopi pertama, membuka laptop, bersiap memulai hari. Tapi begitu membuka email dari tim Sales dengan subjek “Update Forecast – Pertumbuhan Sangat Positif!”, rasanya ada yang tidak beres. Anda klik lampiran Excel-nya. Matamu langsung tertuju pada angka yang bikin kening berkerut. Forecast penjualan naik 30%. Bukan tahun depan. Bukan juga semester depan. Tapi dalam hitungan bulan ke depan.
Anda langsung berpikir: “Oke, ini serius.” Lalu Anda cari alasannya. Ada kampanye besar? Klien baru? Kerja sama strategis? Produk baru? Tapi tidak ada satupun yang mendukung kenaikan itu. Tidak ada rencana aksi. Tidak ada penjelasan mendetail. Cuma angka optimis yang muncul begitu saja dari spreadsheet. Dan sekarang, semua tekanan jatuh ke pundakmu. Sebagai tim supply chain, Anda harus memastikan kalau barang ada, kapasitas produksi siap, bahan baku tersedia. Padahal Anda bahkan tidak yakin Sales tahu betul bagaimana mereka akan mewujudkan angka itu.
Sebelum kita lanjutkan bahasan menarik ini, jangan lupa untuk follow juga akun LinkedIn saya. Anda akan mendapatkan lebih banyak insight bermanfaat tentang supply chain management di sana. Dapatkan juga ebook dari scmguide.com di sini untuk semakin menambah wawasan supply chain management Anda.
Table of Contents
Optimisme Penjualan vs Realita Lapangan
Menaikkan forecast sebesar 30% itu bukan mustahil, tapi bukan juga sesuatu yang bisa dicapai cuma dengan semangat dan harapan. Kenaikan sebesar itu biasanya butuh aksi konkret: ekspansi pasar, promosi besar-besaran, diskon agresif, atau kontrak besar yang sudah ditandatangani. Tapi kalau tidak ada satupun dari itu yang terjadi, dari mana keyakinan itu datang?
Anda coba bertanya baik-baik ke tim Sales. “Kira-kira kenaikan ini didorong oleh apa, ya?” Tapi jawaban mereka samar. “Feeling kita kuat tahun ini.” “Pasar sedang bergerak positif.” “Tim kita lagi semangat.” Dan meski semangat itu penting, Anda tidak bisa bikin PO bahan baku cuma berdasarkan semangat.
Masalahnya, setiap keputusan supply chain punya konsekuensi finansial. Beli bahan baku lebih banyak = uang perusahaan tertahan. Tambah kapasitas = lembur, biaya logistik naik, potensi bottleneck. Kalau forecast itu ternyata salah? Gudangmu penuh. Produksi idle. Uang macet di stok. Tapi kalau Anda tidak ikut forecast dan ternyata penjualannya benar naik? Anda disalahkan karena tidak siap. Pilihan yang enak tidak ada.
Peran Supply Chain: Di Tengah Kebingungan Harus Tetap Rasional
Anda ada di posisi yang serba salah. Kalau percaya forecast dan salah, Anda yang ditunjuk. Kalau tidak percaya dan ternyata benar, tetap Anda yang salah. Tapi tetap harus diingat, Anda bukan cuma eksekutor. Peran supply chain hari ini sudah jauh berkembang. Anda adalah penghubung antara ambisi bisnis dan kemampuan operasional. Anda adalah penyeimbang antara mimpi dan kenyataan.
Dan dalam kasus seperti ini, Anda tidak bisa cuma diam atau marah-marah. Anda harus mulai dengan pertanyaan penting: seberapa besar risiko yang sanggup Anda tanggung? Seberapa fleksibel Anda bisa bersiap? Dan bagaimana cara menyelaraskan ekspektasi ini ke dalam strategi nyata?
Anda juga pasti suka:
- Kenapa Laporan KPI Supply Chain Terasa Seperti Ajang Penghakiman, Bukan Peluang Perbaikan
- Mengapa Berpindah antara Rantai Pasok Otomotif dan FMCG Terasa Seperti Berpindah Alam Semesta
Jangan Langsung Siap Produksi, Bangun Beberapa Skenario
Daripada buru-buru nurut dan langsung buat planning produksi 30% lebih tinggi, Anda bisa mulai dengan membuat skenario. Bukan satu rencana pasti, tapi beberapa opsi. Apa dampaknya kalau penjualan naik 10%? 20%? Di titik mana perusahaan bisa fleksibel? Kapan harus tarik rem darurat?
Libatkan tim procurement. Bisa tidak sih PO dibagi bertahap atau punya opsi cancel tanpa penalti? Tanya ke tim produksi. Kapasitas maksimum mereka sampai mana? Perlu outsourcing? Diskusikan juga dengan tim gudang. Kalau stok beneran naik 30%, gudang cukup tidak?
Dengan skenario seperti ini, Anda bisa tetap responsif tanpa gambling. Anda punya planning A, B, dan C. Dan yang penting, Anda jadi punya landasan logis untuk menjawab kenapa keputusanmu seperti itu. Bukan spekulasi. Tapi data.
Ajak Sales Duduk Bareng, Tanpa Drama
Mungkin Anda pengin protes. Tapi lebih baik tahan dulu. Ganti pendekatan. Jangan serang. Ajak mereka duduk bareng. Sampaikan dengan bahasa kolaboratif. “Kita excited juga dengan forecast-nya. Supaya kita bisa support penuh, kita butuh info yang lebih detail tentang rencana penjualannya. Kira-kira ada campaign baru? Ada tambahan channel distribusi? Ada akun besar yang lagi proses?”
Kalau jawabannya tetap tidak jelas, lanjutkan dengan menunjukkan dampaknya. “Kita siap support kok. Tapi kalau kita salah langkah, risikonya bisa besar: biaya tinggi, stok menumpuk, bahkan over capacity. Kita tidak mau perusahaan rugi karena eksekusi kita tidak selaras.”
Kalau perlu, ajak mereka ikut meeting skenario Anda. Biar mereka lihat langsung kalau setiap angka forecast itu berarti cost, planning, dan resiko nyata di lapangan. Supaya mereka tidak cuma melihat target sebagai angka, tapi sebagai sesuatu yang harus bisa dijalankan bersama.

Mitigasi Risiko Tanpa Harus Jadi Parno
Anda juga perlu merancang strategi mitigasi. Misalnya, Anda bisa mulai produksi tambahan secara bertahap. Prioritaskan barang-barang dengan perputaran tinggi dulu. Atau siapkan opsi produksi cepat kalau benar-benar dibutuhkan. Intinya, jangan terlalu pasif. Tapi juga jangan gegabah.
Dan satu hal penting: dokumentasikan semua prosesnya. Mulai dari forecast yang Anda terima, pertanyaan yang Anda ajukan, risiko yang Anda catat, sampai opsi-opsi yang Anda rancang. Bukan untuk cari kambing hitam. Tapi untuk menunjukkan kalau keputusanmu berbasis pertimbangan matang. Kalau nanti manajemen mempertanyakan kenapa barang numpuk atau kenapa tidak siap, Anda punya bukti kalau Anda sudah berpikir, menganalisis, dan bertindak dengan profesional.
Anda juga pasti suka:
- Menavigasi Badai: Bagaimana Strategi Rantai Pasok Membantu Bisnis Bertahan di Tengah Kenaikan Tarif Perang Dagang
- Mengapa Tim Supply Chain Anda Perlu Berpikir Seperti Engineer untuk Bisa Scale-Up
Dari Reaktif Jadi Proaktif: Bangun Sistem dan Budaya yang Kolaboratif
Kejadian seperti ini bukan yang terakhir. Pasti akan terulang. Sales akan selalu optimis, dan supply chain akan selalu jadi pihak yang harus realistis. Tapi Anda bisa belajar dari sekarang untuk membangun sistem yang lebih proaktif.
Mulai dari membangun relasi lintas fungsi yang lebih sehat. Jangan cuma bertemu saat forecast naik. Tapi buat rutinitas diskusi regular. Bangun tools yang transparan. Buat dashboard yang menunjukkan dampak forecast terhadap kapasitas, stok, dan cashflow. Ajarkan tim Sales kalau supply chain itu bukan penghambat, tapi partner untuk mengeksekusi dengan aman dan optimal.
Dan bangun budaya yang menghargai keberanian untuk bertanya “bagaimana caranya?” saat semua orang sibuk mengatakan “bisa kok!”
Akhirnya, Anda Tetap Pemain Kunci
Sekarang Anda kembali menatap spreadsheet forecast itu. Angka 30% masih di sana. Sales masih belum bisa jawab dengan jelas. Tapi Anda tidak panik lagi. Karena Anda sudah siapkan opsi. Sudah mulai diskusi. Sudah ambil posisi sebagai penengah.
Dan itulah nilai Anda sebagai supply chain. Bukan sekadar pelaksana. Tapi penjaga kesinambungan. Penjaga keseimbangan. Penjaga arah.
Bukan tugasmu untuk bilang “iya” ke semua forecast. Tapi tugasmu untuk memastikan setiap forecast bisa dijalankan dengan cerdas. Untuk memastikan setiap rencana besar tidak berujung jadi beban besar.
Dan yang paling penting, untuk memastikan perusahaan tidak kehilangan arah cuma karena satu tim terlalu semangat tanpa rencana.
Semoga bermanfaat!
Bagikan artikel ini ke rekan Anda yang lain supaya mereka juga mendapatkan manfaatnya. Untuk lebih banyak insight bermanfaat tentang supply chain management, follow akun LinkedIn saya. Dapatkan juga ebook dari scmguide.com di sini untuk semakin menambah wawasan supply chain management Anda. Anda bebas menggunakan semua artikel di blog ini untuk tujuan apapun, termasuk komersil, tanpa perlu memberikan atribusi.